SANTO' - SANTO' , Permainan Khas Daerah Sulawesi Yang Terabaikan
Dimulai dengan percakapan antara Baso dengan Sul.
Adapun yang mereka memasuki zona tiga atau garis tiga dimana tim yang jadi target, seharusnya memasang target batunya dalam posisi berdiri, maka harus di tidurkan. Hukuman ini di istilahkan dengan nama “mati lampu”, walupun istilahnya yang tidak nyambung karena permainan ini adalah permainan outdoor, yang tidak menggunakan listrik sama sekali,
Khusus untuk hukuman ini, maka seluruh player tim
berlaku, maka tidak diberikan kesempatan melempar melainkan hanya sekali saja.
By Rusli Alafasy, sambil mengingat masa lalu (hahaha)
Makassar 11 Juni 2014
“…Oi, baso, lampaki karena santo-santo”, (Hai Baco, Ayo bermaian
Santo-santo)
“…Santo apa erok nu karenai…?”, (santo jenis apa yang mau
kamu mainkan…???)
“…Santo biasayyamo”, (santo yang biasa)
“…Io padeng, lampayya rong boya batu dapparaka…, (ia saya
ikut, saya pergi dulu mencari batu kerikil yang datar)
Nampak sekilas bentuk pembicaraan yang sering terdengar
di telingaku sewaktu masih kecil, kisaran tahun 1998. Permainan Santo-santo merupakan permainan outdoor tradisional
sulawesi selatan (mungkin juga di beberapa belahan indonesia lainnya) yang sering kita jumpai pada waktu dulu,
dimana permainan ini memadukan antara kerjasama tim, skill individu, dan
keakuratan dalam mengatur irama lemparan batu.
Permainan santo-santo memiliki beragam jenis, seperti
permainan santo-santo yang menggunkan batu kerikil ukuran sebesar telapak
tangan, dimana batu tersebut dibawa dengan menaruhnya di atas punggung salah
satu punggung kaki, sehingga setiap pemain tersebut harus "dende-dende" (berjalan berlompat
dengan satu kaki).
Ada pula yang menggunkana batu, tapi cukup dengan
melemperkannya ke batu pemain lawan, dan ini yang paling umum dilakukan karena tidak
terlalu sulit, dan tidak perlu menyeseuikan pemain antra umur yang tua dan yang
masih muda.
Terus ada pula permaian santo-santo yang menggunkan pecahan
keramik atau tegel. Karena ukuran media yang di pakai hanya sebatas pecahan
tegel atau keramik, maka permainan ini cukup menggunkan punggung tangan dalam
memainkannya.
Ada pula permaianan santo-santo yang membutuhkan
keahlian khusus, karena permaian ini membutuhkan tingkat kelenturan badan
seperti gaya kayang, bagi yang tidak mampu, maka bersiaplah untuk kalah,
hahahah….
Aturan permaian santo – santo ini cukup sederhana (penjelasan untuk
jenis yang kedua, karena ini yang sering sama maikan di waktu kecil),
dimana
pemain di bagi atas dua tim, di tiap – tiap tim, tidak di tentukan
berapa
batasan pemaian, yang penting massing-masing tim memiliki pemain yang
sama
banyak jumlahnya.
Tim pertama memainkan peran sebagai penembak awal,
sedang tim yang satunya, menjadi target dari pelemparan batu tersebut.
Aturan permaian pun cukup sederhana, dimana di buat garis
mendatar sebanyak tiga lapis, di mana lapis ketiga, merupakan lokasi tim target
memberdirikan batunya, yang kemudian akan menjadi target para pemain lawan.
Tapi, STOP DULU,
aturan permainan tidak hanya mengusahakan melemparkan batu ke arah batu lawan
begitu saja, karena kalau tidak kena, maka akan ada hukum yang berlaku.
Disini kita dapat menyaksikan ada tiga garis, dimana
telah di jelaskan bahwa pemaian yang kena giliran menjadi target berada pada
garis terakhir, adapun pada garis
pertama maupun garis kedua merupakan garis atau area dimana hukuman bagi mereka
yang memasuki area tersebut akan di kenakan sanksi khusus bagi player tersebut saja, bukan
secara menyeluruh. Tetapi jika ada saja satu diantara semua tim itu yang
melewati garis ketiga, maka semua tim akan kena hukumannya.
Hhhmmm, sepertinya saya harus mere-view ulang,
permainanku dulu waktu masih duduk di bangku SD... Hukuman yang berlaku jika batu yang dilempar memasuki area satu atau garis
awal adalah dikenal dengan istilah “bicco kiri-kiri”, dimana player tersebut dipegang salah
satu matanya oleh lawan mainnya, sambil digerak – gerakkan. Hal ini dapat
mengganggu pandangan dalam melempar. Disini nampak unik dan mengundang tawa
jika harus melempar batu jauh dari target, hahaha…
Hukuman yang berlaku bagi mereka, jika melewati zona kedua
atau garis kedua adalah dikenal dengan istilah “buta-buta”, atau player yang
bertugas melepar pada pemain itu harus ditutup matanya oleh lawan mainnya, ini
bahkan lebih mengundang tawa lagi karena kejahilan lawan jenis yang tak hanya
menutup mata, bahkan menggunakannya kesempatan tersebut untuk “mengkandatto”
(menjitak kepala teman), hehehe, kan mumpung playernya tidak melihat….
Adapun yang mereka memasuki zona tiga atau garis tiga dimana tim yang jadi target, seharusnya memasang target batunya dalam posisi berdiri, maka harus di tidurkan. Hukuman ini di istilahkan dengan nama “mati lampu”, walupun istilahnya yang tidak nyambung karena permainan ini adalah permainan outdoor, yang tidak menggunakan listrik sama sekali,
Nampak sulit juga memainkan yach, tapi ada bonus khusus
dari permainan ini, yaitu jika salah satu tim dapat melempar dengan tepat,
maka memiliki kesempat untuk melempar batunya ke rekan yang tidak kena, dan
jika kena lagi, boleh membatu teman lagi yang tidak kena, tapi hukuman yang di
dera oleh teman yang memang kena hukuman seperti "bicco kiri-kiri" dan "buta-buta," juga berlaku bagi kami yang membantu,
Permaian ini dilakukan secara bergantian hingga batas
poin yang telah disepakati atau batas player yang habis. Adapun hukum bagi
mereka yang kalah cukup simpel yaitu “mendenge” (menggendong) lawan beberapa
kali putaran lapangan tergantung kesepakatan, walaupun biasanya yang kalah
banyak juga yang kabur atau menjaga harga dirinya sehingga tidak mau menjalani
hukuman tersebut. Hahaha…
Yach, inilah salah satu permaian yang pernah populer di
masa kami masih kecil era tahun 1998, walaupun masih banyak aturan yang
berlaku, tapi setiap wilayah permainan tidak menerapkannya, (maklumlah
tidak ada ISO dan SNI-nya).
Permainan ini memberikan manfaat cukup
banyak seperti interaksi sosial secera nyata, membangun hubungan emosional dan
kerjasama tim dengan orang lain, dan juga sebagai bentuk olahraga jiwa dan
raga.
Permainan ini cukup hilang dari masyarakat. Bahkan anak
remaja kita saat ini merasa aneh mendengarkan permainan ini, dan ketertarikan
dengan permainan tradisional pun mulai hilang. Mereka lebih memilih mengadakan
interaksi sosial secara maya, memainkan permainan yang justru merusak kesehatan
jika keseringan seperti video games, atau yang semisalnya yang dapat melemahkan
kualitas fisik yang kurang aktifitas.
Itulah zaman yang telah berubah, yach mau diapa lagi,
maka permainan santo – santo ini pun telah terlupakan…
Makassar 11 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar